57 hari setelah kau pergi


Masa-masa sulit saya telah berlalu sekitar tiga setengah tahun lalu, dimana saya harus kuat sendiri setelah kau pergi. Dimulai hari tepat dimana saya berangkat untuk pertama kali ke kota Solo, ditemani Bapak naik motor berdua, sepanjang jalan saya hanya diam memikirkan pesan singkat terakhirmu, kemarin.

… maaf, mulai sekarang tidak perlu menghubungi saya lagi. mungkin ini yang terbaik …

Kira-kira demikian, percuma saya balas berpuluh-puluh kali, miscall seratus empat belas kali pun tetap tidak ada jawaban darimu. Diam. Tanpa jawaban. Tanpa penjelasan. Hanya tersurat tanda tanya untuk saya. Ya benar adanya, mulai hari itu saya tahu diri untuk berhenti menghubungimu, mungkin ini yang kau inginkan, apalah yang bisa saya lakukan, sesuai nasihatmu yang sampai sekarang pun masih saya ingat, menyesuaikan, meski menyakitkan. ~

Melakukan hal yang berbeda dari rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan itu tidak mudah. Berhenti untuk menghubungimu? Apa kau serius menghukumku dengan cara begitu. Sehingga saya pun memiliki kebiasaan baru, melamun seorang diri. Mulai hari pertama setelah kau pergi ditambah tanpa kabar informasi sama sekali membuat saya hanya diam menatap langit-langit di tempat baru saya di Solo.

Sampai hari kedelapan pun masih sama, setiap kali handphone ada notifikasi saya selalu berharap itu dari mu, namun sepertinya saya harus bisa menerima kepergianmu. Hari demi hari tanpa kabar informasi yang biasanya selalu mengisi notifikasi handphone saya, begitu hebat menyiksa. Mungkin agak berlebihan saya menuliskannya, tapi sebenarnya rasa itu tak dapat saya tulis dengan kata yang tepat.

Kehidupan baru setelah kau pergi membuat diri saya terpaksa menilai sendiri, apa perlu saya berbeda agar saya tidak merasa kesepian lagi? Benar. Waktu itu masa orientasi mahasiswa baru, masih ingat betul di memori otak saya, saya harus bisa menghibur diri saya agar rasa sepi setelah kau pergi sedikit berkurang. Saya mencoba mencari teman yang banyak disini, dengan sok tampil di muka umum, ya memang saya cari muka, agar muka saya dilihat orang banyak.

Tiga puluh hari setelah kau pergi hati ini sudah mulai merasakan kembali rasa untuk menerima. Menerima kalau memang kau sudah bahagia di tempat yang jauh disana, empat ratus delapan puluh kilometer kita terpaut. Hmmm.. Sebenarnya hanya tertumpuk dengan kegiatan mahasiswa baru, sehingga hati ini seakan lupa untuk merasakan kepergianmu. Puluhan hari tanpa pesan dari mu dan tanpa saya mengirim pesan kepada mu, history percakapan pesan kita mungkin bisa paling bawah. Biar kau tau, sebenarnya tiap malam saya selalu scroll melihat ke percakapan terakhir kita. Hanya memandang, tanpa berani untuk mengirim pesan.

Sampai saatnya lima puluh tujuh hari setelah kau pergi, hari jumat, setelah saya usai sholat jumat. Ada panggilan dari kontak nama yang sampai saya hampir lupa, kau menelpon saya, ya ini bukan mimpi. Bodohnya saya waktu itu, hanya memandangi layar handphone tidak segera angkat, ya mungkin karena saya sedang membeli rujak buah waktu itu, tak nyaman menerima telepon di tempat ramai.

Saya masukkan handphone ke saku, dan mensugesti diri, mungkin hanya salah panggilan, atau tidak sengaja menekan tombol. Sesampainya di tempat tinggal saya di Solo, ada tiga kali panggilan dari nama yang sama, dan satu pesan. Aneh, tangan saya sampai tak kuat menahan beban hanphone saat membuka pesan masuk.

Hai set, apa kabar?

Oh my God. Astagfirullah, alhamdulillah, entah kalimat toyyibah apa yang saya sebut waktu itu saking gembira nya saya. Lima puluh tujuh hari menahan diri tanpa komunikasi tanpa kabar informasi. Saya langsung mengubunginya via telepon.

Beberapa menit yang indah, hanya ucapan maaf dan terima kasih yang terucap. Haru. Sedih. Senang. Akhirnya doa yang selalu saya ucap setiap habis shalat terkabul setelah lima puluh tujuh hari, ya hari dimana satu hari sebelumnya saya sudah mulai membuka hati untuk orang lain. Hahaha, kau hebat ya, dengan tanpa perintah dan paksaan tiba-tiba saya kembali menutup hati saya lagi. ~ Sampai sekarang.

Pun, setelah kau mengubungi saya, rasa canggung tetap sama, sudah tidak bisa seakrab dulu, berlanjut hingga sampai saat ini. Ya, kita hanya berusaha tidak memutus silaturahim, tidak lebih.

Sekarang pun saya paham. Makna jarak hubungan yang sebenarnya bukan dilihat dari perbedaan jarak secara geografis, namun dari hati. Meski kita saling duduk berhadapan untuk menghabiskan makan siang, jika hati sudah jauh, jarak sedekat itu pun akan terasa amat jauh 😦

 

enam puluh tujuh hari setelah saya berada satu Kota denganmu.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s