Tak jadi anak-jek lagi


Hari ini, gelar anak-jek—alias saya menjadi tukang ojek ibu saya setiap hari telah berakhir. Pada akhirnya sesuatu yang menjadi kebiasaan akan dirindukan apabila sudah tidak dilakukan lagi. Yap, itu benar. Saya rindu menunggu ibu keluar dari sekolah, saya rindu harus berebut tempat teduh dengan angkot, saya rindu ketiduran di motor saking lamanya menunggu ibu, saya rindu menjadi anak-jek ibu lagi. 

Dulu hal yang begitu membosankan, menunggu selalu saya benci. Padahal menunggu untuk keluarnya ibu dari sekolah karena beliau lelah telah bekerja. Sekarang saya menyesal kenapa saya membenci hal yang sebenarnya sangat jahat sekali bila saya membencinya. Toh hanya menunggu, pun tidak sampai dua jam. Tercatat rekor menunggu saya hanya enam puluh menit lebih dua menit, ya saya ingat waktu itu karena saat ibu saya keluar saya muring-muring karena ibu keluar tak sesuai jadwal pulang.

Sedih bila mengingat hari itu, di perjalanan pulang saya hanya menggerutu, tidak bicara sama sekali—ngambek. Sampai saya bilang kalau sms minta jemput itu kalau ibu sudah di luar menunggu, jadi saya langsung bisa bawa pulang tanpa menunggu!. Ibu, maafkan aku yang dulu. Berteriak di jalan sampai tak fokus hampir menabrak trotoar jalan Hassanudin. 

Kini saya akan merindukan menjadi anak-jek ibu lagi, mungkin satu atau dua bulan lagi, tapi itupun tidak mungkin menjemput ibu pulang keluar dari sekolah—weekend.

Ibu selalu sabar mendengarkan saya mengoceh di jalan, dari kabar saya dipanggil untuk tes kerja, marah karena kucing—toji yang ngompol di atas keyboard komputer saya, kucing—momo yang mau saya buang karena nakal, sampai kabar tidak penting, bu, saya lapar belum sarapan. Ya hanya alasan agar bisa mampir untuk sekedar membeli lele goreng, rujak petis, bahkan bakso pak Mun.

Kegiatan menjadi anak-jek Ibu saya hitung sudah dua bulan, ya, tidak terasa setiap hari hanya menunggu Ibu keluar sekolah itu sudah berlalu begitu cepat, dua bulan waktu yang tidak sebentar. Tidak dihonor, pun saya tidak perlu honor dari kegiatan menadi anak-jek itu, malah setiap saya pergi selalu Ibu beri uang saku—selalu dengan jumlah lebih, apakah itu honor? Iya. tapi juga mungkin Tidak. 

Menjadi anak-jek ibu selama ini tidak membuat saya menyesal bu, hari ini pun saya datang lebih awal untuk menunggu ibu pulang keluar dari sekolah, ya karena saya sudah tahu kalau kehiatan menunggu yang sangat membosankan ini akan saya rindukan. 

Saat hari ini saya akan berangkat, saya pamit mohon doa restu Ibu. Seperti biasa ibu mengeluarkan drama beliau, ibu tak kuasa nangis di depan saya—anaknya yang akan pergi jauh. Beliau selalu berpesan dan akan selalu saya ingat juga, 

Le, jo lali ngaji ne, sholat wajib e sunnah e ditambahi. Dadi wong apik, ojo nakal.

(Nak, jangan lupa ngaji, sholat wajib dan sunnah nya ditambah. Jadilah orang baik, jangan nakal)

Ketika mengatakan itu, Ibu sudah tak kuasa menahan air mata beliau. Saya tetap menahan diri—stay cool dan membalas dengan lelucon agar ibu tak larut.

Saya juga pesan bu, jangan lupa sirami lombok di depan. Ben gak mati. 

Ibu pun tertawa kecil. Saya balas dengan senyuman, cium tangan, salam kemudian menjauh untuk pergi ke Bapak yang sudah menunggu untuk mengantar.

Anak-jek ibu sudah berangkat, tapi ini untuk masa depan anak-jekmu. Akan saya ingat dan lakukan pesan ibu. 

Dari anak-jekmu tersayang. Perjalanan Paron-Kiaracondong, 9 Februari 2017.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s